Menjaga Kehormatan Sesama Muslim
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdillah
Arief Budiman bin Usman Rozali, Lc. dari kitab Fat-hul Qawiyyil Matin fi
Syarhil Arba’in wa Tatimmatul Khamsin,
karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnul Qayyim & Daar Ibnu ‘Affan,
Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M. Hadits ke-35, halaman 118 sampai 121.
[Redaksi]
عَنْ
أَبي هُريرةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «لاَ
تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ
يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً،
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ
يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا»، -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ
ثَلاَثَ مَرَّاتٍ-، «بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ»، رواه مسلم.
Dari
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki!
Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling
membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan
sebagian yang lain! Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang
Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya,
tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh
meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada di sini”, -dan beliau menunjuk
ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/jahat, jika
ia menghina/merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang
lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak),
dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya”. Diriwayatkan oleh Muslim.[1]
PENJELASAN
HADITS
1- Sabdanya (لاَ
تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ
يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ) “Janganlah kalian saling mendengki!
Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling
membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu yang (akan) dijual
sebagian yang lain!“.
Al-Hasad (dengki)
dapat terjadi pada perkara dunia maupun akherat. Dan termasuk ke dalam
perbuatan hasad, adalah bencinya seorang pendengki terhadap
kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain. Dan termasuk pula; keinginan
seseorang agar kenikmatan tersebut hilang lenyap dari orang lain. Sama saja ia
berharap agar kenikmatan tersebut berpidah kepadanya atau pun tidak.
Adapun jika seseorang berkeinginan untuk
mendapatkan kenikmatan seperti apa yang Allah berikan kenikamatan tersebut
kepada orang lain, tanpa ia membenci jika kenikmatan tersebut juga terdapat
pada orang lain, dan tanpa berharap agar kenikmatan tersebut hilang dari orang
lain tersebut, maka ini disebut ghibthah, dan bukan merupakan hasad iri dengki yang tercela. [2]
An-Najsyu, artinya; seseorang menaik-naikkan harga sebuah
barang tatkala sedang berlangsung tawar-menawar barang tersebut, sedangkan dia
sama sekali tidak berniat untuk membelinya. Ia hanya ingin memberikan manfaat
kepada si penjual, atau semata-mata ingin memadharratkan si pembeli dengan menambah harga barang tersebut.
At-Tabaghudh artinya
melakukan sesab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian
(permusuhan).
At-Tadaabur artinya saling memutuskan (hubungan) dan saling menghajr(mengisolir/memboikot).
Dengan demikian, seseorang tidak lagi senang jika bertemu dengan saudaranya.
Bahkan yang terjadi adalah saling memberikan punggung (membelakangi) dengan
sebab kebencian yang terjadi pada keduanya.
Dan arti menjual sesuatu di atas penjualan orang lain,
adalah; terjadinya jual beli antara si penjual dan pembeli, sedangkan mereka
berdua masih dalam waktu tawar-menawar, kemudian datanglah penjual yang lain
kepada si pembeli, seraya berkata, “Sudahlah! (Sekarang) kamu tinggalkan barang
ini! Saya punya barang yang serupa atau bahkan lebih bagus, saya jual kepada
kamu dengan harga yang lebih murah”. Dan perbuatan ini jelas menyebabkan
kebencian.
2- Sabdanya, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh
ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya,
dan tidak boleh meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada disini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga
kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/ jahat, jika ia menghina/
merendahkan saudaranya yang Muslim…”.
Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang beberapa perkara yang diharamkan, yang di
antaranya adalah saling membenci antara sesama muslim dan melakukan sesab-sebab
yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian (permusuhan), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada kaum muslimin agar mereka
mau melakukannya. Yaitu, agar mereka menjadi hamba-hamba Allah yang saling
bersaudara dan saling mencintai dan menyayangi. Saling berlemah-lembut dan
berbuat baik, dengan cara memberikan hal bermanfaat dan mencegah dari hal-hal yang
bermadharrat. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan dengan sabdanya “Seorang Muslim adalah saudara bagi
Muslim yang lainnya…”.
Yang maksudnya, bahwa konsekwensi persaudaraan adalah dengan cara mencintai
untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri. Dan ia
membenci jika suatu musibah menimpa saudaranya sebagaimana ia pun membenci jika
musibah menimpa dirinya. Dengan demikian, ia tidak boleh menzhalimi
saudaranya dengan melanggar hak-haknya, atau dengan memberikan madharrat kepadanya. Demikian pula ia tidak boleh
mengacuhkannya, terlebih lagi tatkala ia membutuhkan pertolongannya, sedangkan
dia mampu untuk menolongnya. Juga tidak boleh berbicara dusta kepadanya. Tidak
pula meremehkannya, baik dengan cara menghinanya atau merendahkannya. Kemudian
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan
buruknya perbuatan seorang Muslim yang meremehkan saudaranya Muslim, dengan
sabdanya “Cukuplah
seseorang dikatakan buruk/ jahat, jika ia menghina/merendahkan saudaranya yang
Muslim“, maksudnya, cukuplah seseorang
disifati buruk/ jahat, meskipun ia tidak memiliki sifat buruk lainnya kecuali
hal tersebut (yakni; meremehkan saudaranya Muslim). Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan dengan sabdanya “Takwa itu ada di sini“, dan beliau menunjukkan ke dadanya tiga kali,
maksudnya takwa itu di hati. Beliau ingin menjelaskan bahwa yang dianggap dari
seseorang adalah apa-apa yang ada di hatinya, berupa keimanan dan ketakwaan.
Dan mungkin saja orang yang dihina dan diremehkan tersebut hatinya dipenuhi
dengan ketakwaan. Dengan demikian, orang yang menghina dan meremehkan tersebut
yang hatinya tidak baik.
Adapun perkataan sebagian orang yang
melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, kemudian ada yang menegurnya, dan
pelaku maksiat tersebut malah berkata sambil menunjukkan ke dadanya “Takwa itu ada di sini“, maka perkataannya (harus) dibantah (demikian):
Sesungguhnya ketakwaan itu, jika memang
telah bersarang di dalam hati, maka akan tampak dampaknya dan terefleksikan pada
anggota tubuh. Dengan terlihat padanya istiqamah(kelurusan
perbuatan) dan tidak bermaksiat. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia
terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasadnya akan baik, dan
bila ia rusak, niscaya seluruh jasadnya akan rusak pula. Ketahuilah bahwa
segumpal daging itu ialah hati (jantung)“.
Dan Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam juga telah bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ،
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ».
Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat hati dan
amalan kalian.
Diriwayatkan oleh Muslim (2564). Dan
telah terdapat perkataan sebagian salaf,
“Bukanlah iman itu dengan hanya berangan-angan dan berhias-hias diri, akan
tetapi iman itu adalah sesuatu yang bertengger dalam hati dan direalisasikan
dengan amalan”.
3- Sabdanya “Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya,
haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan
(mengganggu) harga dirinya/kehormatannya“.
Melanggar jiwa seorang muslim dengan
cara membunuhnya atau menyakitinya hukumnya haram. Demikian pula haram hukumnya
melanggar hartanya, baik dengan cara mencuri, atau merampas hartanya. Adapun
melanggar kehormatan seorang muslim, adalah dengan mencelanya, menghinanya,
mengghibahinya, mengadu dombanya, dan yang sejenisnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menegaskan keharaman ketiga hal di atas di
saat haji wada’. Beliau menyamakan keharamannya seperti keharaman
tempat dan waktu. Beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ
حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا، فِى بَلَدِكُمْ
هَذَا…».
Sesungguhnya
darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian telah diharamkan atas kalian
(untuk dilanggar), seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian
(Dzulhijjah) ini, di negeri kalian (Mekkah) ini.
4-
Pelajaran dan faidah hadits:
1.
Haramnya
saling berbuat hasad, menipu, menjual di atas penjualan orang lain, dan
demikian pula membeli di atas pembelian orang lain. Dan segala yang dapat
menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara sesama kaum muslimin.
2.
Larangan
melakukan sebab-sebab yang dapat menimbulkan kebencian. Demikian pula segala
sesuatu yang dapat menimbulkan pemutusan hubungan dan pemboikotan di antara
sesama kaum muslimin.
3.
Anjuran
kepada seluruh kaum muslimin agar mereka saling memiliki rasa persaudaraan dan
saling menyayangi dan mencintai.
4.
Persaudaraan
di antara kaum muslimin, konsekwensi dan realisasinya adalah memberikan segala
bentuk kebaikan, dan menghalangi mereka dari segala bentuk mara bahaya yang
dapat menimpa mereka.
5.
Haram
atas setiap muslim untuk menzhalimi, mengacuhkan, merendahkan, dan berkata
dusta kepada saudaranya.
6.
Bahayanya
merendahkan, menghina, dan mencemooh seorang muslim. Dan perbuatan ini cukup
sebagai bukti akan buruknya pelaku hal tersebut, walaupun ia tidak memiliki
sifat buruk selainnya.
[1] HR Muslim (2564).
[2] Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah
-radhiyallahu
‘anhu- dalam Shahih Al-Bukhari (5026), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ؛ رَجُلٌ عَلَّمَهُ
اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ،
فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ
فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهْوَ
يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا
أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ».
Tidak
boleh hasad kecuali pada dua perkara; seseorang yang Allah ajarkan kepadanya
Al-Qur’an, lalu ia membacanya siang malam, kemudian tetangganya mendengarnya
seraya berkata, “Seandainya aku diberikan (oleh Allah) seperti apa-apa yang
diberikan kepada fulan tersebut, sehingga aku (dapat) mengamalkan seperti apa
yang ia amalkan”. Dan seseorang yang Allah berikan harta kepadanya, lalu ia pun
menghabiskan hartanya tersebut untuk jalan al-haq (kebenaran), kemudian
seseorang yang lain berkata, “Seandainya aku diberikan (oleh Allah) seperti
apa-apa yang diberikan kepada fulan tersebut, sehingga aku (dapat) mengamalkan
seperti apa yang ia amalkan”. (Pent).
0 komentar:
Kami Tunggu Respon Anda
Bagaimana pendapat anda tentang artikel ini???