Mengedarkan Kotak Infak Saat Khatib Naik Mimbar

Tuesday 29 April 2014

Mengedarkan Kotak Infak Saat Khatib Naik Mimbar


Dijawab oleh Ustadz Syahrul Fatwa (Pengajar Ma’had Riyadhush Shalihin Pandeglang, Banten dan Pengasuh Majalah Al-Furqon)

Tanya:
Assalamu’alaikum. Ustadz, bagaimana hukum menjalankan kotak infaq di masjid pada saat ada khotib naik mimbar atau pada saat pengajian rutin? Jazakallahu khoiron. (Mujiono, Tanjungpinang)
Jawab:

Wa’alaikumussalam warohmatullohi wa barakaatuh.
Pertanyaan ini mengandung dua pertanyaan;

Pertama: Hukum menjalankan kotak infak di masjid saat khotib naik mimbar
Kedua: Hukum menjalankan kotak infak saat pengajian rutin



Adapun jawaban soal pertama, maka sebagaimana kita maklumi bersama bahwa khutbah Jum’at merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan shalat Jum’at. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa khutbah jum’at adalah syarat sahnya shalat jum’at. (Lihat Al-Mughni 2/74, Bada’I as-Shona’I 1/262)
Karena urgennya khutbah jum’at maka ada beberapa perkara yang harus di perhatikan oleh para hadirin shalat jum’at. Diantaranya adalah larangan berbicara ketika khotib sedang menyampaikan khutbahnya, berdasarkan hadits;

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya: “Apabila engkau berkata kepada saudaramu pada hari jum’at: Diamlah!Sedangkan imam sedang berkhutbah maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia. (HR.Bukhari: 934, Muslim: 851)

Demikian pula tidak diperkenankan bagi para hadirin untuk melakukan perbuatan sia-sia seperti bermain-main batu krikil, bermain-main jam dan sebagainya. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya: “Barangsiapa yang berwudhu dan membagusi wudhunya kemudian mendatangi shalat jum’at dan diam mendengarkan khutbah, maka baginya ampunan antara jumat dengan jum’at berikutnya dan tambahan tiga hari. Barangsiapa yang memegang batu krikil sungguh dia telah berbuat sia-sia. ( HR.Muslim: 857)

Imam an-Nawawi rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini berisi larangan dari memegang batu krikil dan selainnya dari jenis-jenis perbuatan yang sia-sia ketika khutbah jum’at. Dan di dalam hadits ini juga terdapat isyarat untuk menghadapkan hati dan anggota badan saat sedang khutbah jum’at”. (Syarah Shohih Muslim 3/229)
Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman:

ومن هذا الباب ما شاهدته من بعض سنوات في بعض مساجد القرى، من الدوران على الناس يوم الجمعة بصندوق لجمع التبرعات والإمام يخطب
Artinya: “Dan termasuk dalam bab ini (kesalahan yang berkaitan dengan shalat jumat) apa yang saya saksikan beberapa tahun ini di masjid-masjid pedesaan, dimana mereka menjalankan kotak amal pada hari jumat sedangkan imam dalam keadaan berkhuthbah” (Al-Qaulul Mubin fii Akhthaail Mushalliin hal:340)

Dari sini, maka tidak sepantasnya mengedarkan kotak amal saat khotib naik mimbar. Karena hal itu dapat mengganggu khutbah dan membuyarkan konsentrasi para makmum yang sedang mendengarkan khutbah. Selayaknya kotak amal tersebut diletakkan di depan masjid atau tempat lainnya yang tidak mengganggu jalannya ibadah.
Adapun soal kedua, menjalankan kotak amal saat pengajian rutin maka hukum asalnya adalah boleh, dan saya tidak mengetahui ada dalil yang melarangnya. Allohu A’lam.
Syahrul Fatwa


Menjaga Kehormatan Sesama Muslim

Menjaga Kehormatan Sesama Muslim


Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali, Lc. dari kitab Fat-hul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatul Khamsin, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnul Qayyim & Daar Ibnu ‘Affan, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M. Hadits ke-35, halaman 118 sampai 121. [Redaksi]

عَنْ أَبي هُريرةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً، اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا»، -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ-، «بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ»، رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang lain! Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada di sini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/jahat, jika ia menghina/merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya”. Diriwayatkan oleh Muslim.[1]
PENJELASAN HADITS
1-   Sabdanya (لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ) “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu yang (akan) dijual sebagian yang lain!“.
Al-Hasad (dengki) dapat terjadi pada perkara dunia maupun akherat. Dan termasuk ke dalam perbuatan hasad, adalah bencinya seorang pendengki terhadap kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain. Dan termasuk pula; keinginan seseorang agar kenikmatan tersebut hilang lenyap dari orang lain. Sama saja ia berharap agar kenikmatan tersebut berpidah kepadanya atau pun tidak.
Adapun jika seseorang berkeinginan untuk mendapatkan kenikmatan seperti apa yang Allah berikan kenikamatan tersebut kepada orang lain, tanpa ia membenci jika kenikmatan tersebut juga terdapat pada orang lain, dan tanpa berharap agar kenikmatan tersebut hilang dari orang lain tersebut, maka ini disebut ghibthah, dan bukan merupakan hasad iri dengki yang tercela. [2]
An-Najsyu, artinya; seseorang menaik-naikkan harga sebuah barang tatkala sedang berlangsung tawar-menawar barang tersebut, sedangkan dia sama sekali tidak berniat untuk membelinya. Ia hanya ingin memberikan manfaat kepada si penjual, atau semata-mata ingin memadharratkan si pembeli dengan menambah harga barang tersebut.
At-Tabaghudh artinya melakukan sesab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian (permusuhan).
At-Tadaabur artinya saling memutuskan (hubungan) dan saling menghajr(mengisolir/memboikot). Dengan demikian, seseorang tidak lagi senang jika bertemu dengan saudaranya. Bahkan yang terjadi adalah saling memberikan punggung (membelakangi) dengan sebab kebencian yang terjadi pada keduanya.
Dan arti menjual sesuatu di atas penjualan orang lain, adalah; terjadinya jual beli antara si penjual dan pembeli, sedangkan mereka berdua masih dalam waktu tawar-menawar, kemudian datanglah penjual yang lain kepada si pembeli, seraya berkata, “Sudahlah! (Sekarang) kamu tinggalkan barang ini! Saya punya barang yang serupa atau bahkan lebih bagus, saya jual kepada kamu dengan harga yang lebih murah”. Dan perbuatan ini jelas menyebabkan kebencian.
2-   Sabdanya, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada disini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/ jahat, jika ia menghina/ merendahkan saudaranya yang Muslim…”.
Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang beberapa perkara yang diharamkan, yang di antaranya adalah saling membenci antara sesama muslim dan melakukan sesab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian (permusuhan), beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada kaum muslimin agar mereka mau melakukannya. Yaitu, agar mereka menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara dan saling mencintai dan menyayangi. Saling berlemah-lembut dan berbuat baik, dengan cara memberikan hal bermanfaat dan mencegah dari hal-hal yang bermadharrat. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan dengan sabdanya “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya…”. Yang maksudnya, bahwa konsekwensi persaudaraan adalah dengan cara mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri. Dan ia membenci jika suatu musibah menimpa saudaranya sebagaimana ia pun membenci jika musibah menimpa dirinya. Dengan demikian, ia tidak boleh menzhalimi saudaranya dengan melanggar hak-haknya, atau dengan memberikan madharrat kepadanya. Demikian pula ia tidak boleh mengacuhkannya, terlebih lagi tatkala ia membutuhkan pertolongannya, sedangkan dia mampu untuk menolongnya. Juga tidak boleh berbicara dusta kepadanya. Tidak pula meremehkannya, baik dengan cara menghinanya atau merendahkannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan buruknya perbuatan seorang Muslim yang meremehkan saudaranya Muslim, dengan sabdanya “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/ jahat, jika ia menghina/merendahkan saudaranya yang Muslim“, maksudnya, cukuplah seseorang disifati buruk/ jahat, meskipun ia tidak memiliki sifat buruk lainnya kecuali hal tersebut (yakni; meremehkan saudaranya Muslim). Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan dengan sabdanya “Takwa itu ada di sini“, dan beliau menunjukkan ke dadanya tiga kali, maksudnya takwa itu di hati. Beliau ingin menjelaskan bahwa yang dianggap dari seseorang adalah apa-apa yang ada di hatinya, berupa keimanan dan ketakwaan. Dan mungkin saja orang yang dihina dan diremehkan tersebut hatinya dipenuhi dengan ketakwaan. Dengan demikian, orang yang menghina dan meremehkan tersebut yang hatinya tidak baik.
Adapun perkataan sebagian orang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, kemudian ada yang menegurnya, dan pelaku maksiat tersebut malah berkata sambil menunjukkan ke dadanya “Takwa itu ada di sini“, maka perkataannya (harus) dibantah (demikian):
Sesungguhnya ketakwaan itu, jika memang telah bersarang di dalam hati, maka akan tampak dampaknya dan terefleksikan pada anggota tubuh. Dengan terlihat padanya istiqamah(kelurusan perbuatan) dan tidak bermaksiat. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasadnya akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasadnya akan rusak pula. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu ialah hati (jantung)“. Dan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ».
Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat hati dan amalan kalian.
Diriwayatkan oleh Muslim (2564). Dan telah terdapat perkataan sebagian salaf, “Bukanlah iman itu dengan hanya berangan-angan dan berhias-hias diri, akan tetapi iman itu adalah sesuatu yang bertengger dalam hati dan direalisasikan dengan amalan”.
3-   Sabdanya “Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya“.
Melanggar jiwa seorang muslim dengan cara membunuhnya atau menyakitinya hukumnya haram. Demikian pula haram hukumnya melanggar hartanya, baik dengan cara mencuri, atau merampas hartanya. Adapun melanggar kehormatan seorang muslim, adalah dengan mencelanya, menghinanya, mengghibahinya, mengadu dombanya, dan yang sejenisnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menegaskan keharaman ketiga hal di atas di saat haji wada’. Beliau menyamakan keharamannya seperti keharaman tempat dan waktu. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا، فِى بَلَدِكُمْ هَذَا…».
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian telah diharamkan atas kalian (untuk dilanggar), seperti haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian (Dzulhijjah) ini, di negeri kalian (Mekkah) ini.
4-   Pelajaran dan faidah hadits:
1.    Haramnya saling berbuat hasad, menipu, menjual di atas penjualan orang lain, dan demikian pula membeli di atas pembelian orang lain. Dan segala yang dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara sesama kaum muslimin.
2.    Larangan melakukan sebab-sebab yang dapat menimbulkan kebencian. Demikian pula segala sesuatu yang dapat menimbulkan pemutusan hubungan dan pemboikotan di antara sesama kaum muslimin.
3.    Anjuran kepada seluruh kaum muslimin agar mereka saling memiliki rasa persaudaraan dan saling menyayangi dan mencintai.
4.    Persaudaraan di antara kaum muslimin, konsekwensi dan realisasinya adalah memberikan segala bentuk kebaikan, dan menghalangi mereka dari segala bentuk mara bahaya yang dapat menimpa mereka.
5.    Haram atas setiap muslim untuk menzhalimi, mengacuhkan, merendahkan, dan berkata dusta kepada saudaranya.
6.    Bahayanya merendahkan, menghina, dan mencemooh seorang muslim. Dan perbuatan ini cukup sebagai bukti akan buruknya pelaku hal tersebut, walaupun ia tidak memiliki sifat buruk selainnya.


[1] HR Muslim (2564).
[2] Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dalam Shahih Al-Bukhari (5026), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ؛ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهْوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ».
Tidak boleh hasad kecuali pada dua perkara; seseorang yang Allah ajarkan kepadanya Al-Qur’an, lalu ia membacanya siang malam, kemudian tetangganya mendengarnya seraya berkata, “Seandainya aku diberikan (oleh Allah) seperti apa-apa yang diberikan kepada fulan tersebut, sehingga aku (dapat) mengamalkan seperti apa yang ia amalkan”. Dan seseorang yang Allah berikan harta kepadanya, lalu ia pun menghabiskan hartanya tersebut untuk jalan al-haq (kebenaran), kemudian seseorang yang lain berkata, “Seandainya aku diberikan (oleh Allah) seperti apa-apa yang diberikan kepada fulan tersebut, sehingga aku (dapat) mengamalkan seperti apa yang ia amalkan”. (Pent).


Nasehat Bagi Pelaku Maksiat

Nasehat Bagi Pelaku Maksiat


Suatu ketika seorang lelaki mendatangi Ibrohim bin Ad-ham… ia mengatakan: “Wahai Abu Ishaq (panggilan kesayangan Ibrohim)! Sungguh, aku ini orang yang terlalu menuruti hawa nafsuku, maka ku mohon berikan aku nasihat yang dapat mencegah dan menyelamatkan hatiku!



Maka Ibrohim mengatakan: “Jika kamu setuju dan mampu menerapkan lima perkara ini, maka kemaksiatan tidak lagi membahayakanmu, dan kenikmatan tidak lagi menjerumuskanmu”.



Lelaki itu mengatakan: “Wahai Abu Ishaq, Sebutkanlah lima perkara itu!”



Ibrohim mengatakan: “Yang pertama: Jika kamu ingin melakukan maksiat kepada Alloh azza wajall, maka janganlah makan dari rizki-Nya!”



Maka lelaki itu mengatakan: “Lantas dari mana aku akan makan, sedang semua yang ada di bumi ini termasuk rizki-Nya?!”



Ibrohim menimpali: “Jika demikian, Apakah pantas kamu makan dari rizki-Nya, lalu kamu melakukan maksiat pada-Nya?!”



Lelaki itu mengatakan: “Tentunya tidak… Sebutkanlah yang kedua!”



Ibrohim mengatakan: “Jika kamu ingin bermaksiat pada-Nya, maka jangan menempati negeri milik-Nya!”



Maka lelaki itu mengatakan: “Ini malah lebih berat dari yang pertama… Jika semua negeri dari timur sampai barat itu milik-Nya, lantas dimana aku akan bertempat?!”



Ibrohim menimpali: “Jika demikian, Apakah pantas kamu makan dari rizki-Nya dan menempati negeri milik-Nya, lalu kamu melakukan maksiat pada-Nya?!”



Lelaki itu mengatakan: “Tentunya tidak… Sebutkanlah yang ketiga!”



Ibrohim mengatakan: “Jika kamu ingin bermaksiat pada-Nya, sedang kamu mendapat rizki dari-Nya dan menempati negeri milik-Nya, maka carilah tempat yang tidak bisa terlihat oleh-Nya, lalu lakukanlah maksiat di tempat itu!”



Maka lelaki itu mengatakan: “Wahai Ibrohim, bagaimana ini mungkin, sedang Dia bisa melihat apapun yang tersembunyi?!”



Ibrohim menimpali: “Jika demikian, apakah pantas kamu makan dari rizki-Nya, dan menempati negeri milik-Nya, kemudian kamu melakukan maksiat kepada-Nya padahal Dia melihatmu dan semua gerak-gerikmu?!”.



Lelaki itu menjawab: “Tentunya tidak… Sebutkanlah yang keempat!”



Ibrohim mengatakan: “Jika nanti datang Malaikat Kematian untuk mencabut nyawamu, maka katakan padanya: ‘Tanggguhkanlah kematianku, sehingga aku bisa menjalani taubat nasuha dan melakukan amalan-amalan yang baik’!”



Maka lelaki itu mengatakan: “Ia takkan menuruti permintaanku”



Ibrohim menimpali: “Jika kamu tidak mampu menolak kematian untuk bertaubat, dan kamu tahu bahwa jika datang kematian maka tidak mungkin lagi ditangguhkan, lantas bagaimana kamu akan menyelamatkan diri?!”



Lelaki itu mengatakan: “Sebutkanlah yang kelima!”



Ibrohim mengatakan: “Jika Malaikat Zabaniyah nanti datang untuk menggiringmu ke Neraka, maka jangan mau pergi bersamanya!”



Lelaki itu mengatakan: “Mereka tidak akan membiarkan dan mendengarkan ucapanku”



Ibrohim menimpali: “Lantas bagaimana kamu mengharapkan keselamatan?!”



Maka lelaki itu mengatakan: “Wahai Ibrohim, cukup… cukup… Aku sekarang mohon ampun dan bertaubat kepada-Nya”



Akhirnya lelaki itu selalu menemani Ibrohim dalam ibadah, hingga kematian memisahkan keduanya…



(Diterjemahkan oleh: Abu Abdillah Addariny, MA . dari Kitab at-Tawwaabiin, karya al-Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi, hal: 285-286)

Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon IV

Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon IV
BAB IV
Walisongo
Sekali lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik.
Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.
Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian oleh penan putri yang tidak menutup aurat.
Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka.
Namun para pengagum Walisongo akan “kecelek” (merasa tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinil yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki.
Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I.
Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja..
Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah.
Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404.
Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7.. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina..
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat (??).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa.
Ternyata memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh siapa, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya.
Dengan informasi baru itu menjadi jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu.
Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam. Oleh karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain, termasuk gerakan Syekh Siti Jenar.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto.
Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis.
Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal di masyarakat tidak berkembang sama sekali.
Memahami Al Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari dengan ilmu. Penafsiran Al Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka.
Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo agama yang dianut kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti.
Di samping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh (telah diterangkan sebelumnya).
Sampai dengan era Singasari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme yang juga sering disebut Agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat Buda dan Ja mewakili agama Jawa.
Nampaknya sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa akhir decade 1950-an dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme yang melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan.
Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar.
Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng- kan kepada salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti telah disebutkan di muka.
Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha- Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil potongan-potongannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr Abdul Munir Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu logika dan aqidah.
Pernyataan-pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya singgung di muka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah Ketua sebuah organisasi Islam besar.
Misalnya pernyataan yang menyebutkan: “ngurusi” Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya.
Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an awal.
Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan.
Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rosululloh juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik, secara ritual saja. Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu hablum minannaas wa hablum minalloh.
Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian.
Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibanding dengan mempelajari fikih atau syariat.
Islam tidak mengkotak-kotakkan antara fikih, sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleksnya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al Qur’an. Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh belajar Qur’an.
Di sini nampaknya penulis lupa bahwa untuk belajar Al Qur’an, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al Qur’an yang memenuhi kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz Umar Budiargo, ustadz Mustafa Ismail, dan banyak lagi, khususnya alumni universitas Timur Tengah.
Jangan belajar Al Qur’an dari pengikut ajaran Syekh Siti Jenar karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan untuk melawan Islam.
CATATAN KECIL :
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munis Mulkhan ini :
1. Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.
2. Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.


3. Bab Satu diakhiri dengan Daftar Kepustakaan, Bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab Satu hampir sama dengan yang tercantum dalam Sumber Pustaka.


4. Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman II yang menyebut: ……. sejarah Islam (Madjld, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis:… …. Menurut Nurcholish Madjld (Khazanas, 1984, hlm 33).


5. Bab Keempat, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buka karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis di dalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup mensitir saja. Beberapa catatan ini memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor.
Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima’afkan. Semoga yang saya lakukan berguna untuk berwasiat-wasitan (saling menasehati,red) didalam kebenaran sesuai dengan amanat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala di dalam surat Al-’Ashr

Aamiin.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. el-Haseem21 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger