Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon I

Tuesday 29 April 2014

Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon I

BAB I

Sebelum saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku berjudul “Syekh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian”, karya Dr Abdul Munir Mulkhan, saya sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi pembahas buku tersebut. Tentu saja saya mengucapkan terima kasih kepada panitia atas kepercayaan yang diberikan kepada saya di dalam acara launching buku yang katanya sangat laris ini.

Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, orientasi sistem pengelolaan hutan mengalami perubahan secara fundamental.
Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen di bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat mulai jaman kuno dulu. Di situ saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik.
Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama “Het Book van Mbonang”, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi.
Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi seandainya tidak ada “Het Book van Mbonang”, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif.
Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu yang berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syekh Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan.
Pembawa risalah Islam, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lahir 9 abad sebelum era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di Tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud.
Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan Majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah mereka.
Keris itu kemudian diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh Kyai Langitan diberikan kepada Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sedang digelar, dan ternyata tidak ampuh.
Kisah Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari Gunung Jabalkat.
Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi; salah seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat..
Pembuat ceritera ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk bulat sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi lbrahim AS, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwah untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan jaman dibanding dengan kisah yang dialami oleh orang-orang yang menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
Het Book van Mbonang” yang telah melahirkan dua orang doktor dan belasan master bangsa Belanda itu memberi petunjuk kepada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. “Het Book van Bonang” tidak menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya.
Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo.
Tulisan saya belum selesai, tapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah sebabnya saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu.
Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi juga sudah ketinggalan jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20.
Apakah kita justru ingin kembali ke belakang?

Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
Share this article :

0 komentar:

Kami Tunggu Respon Anda

Bagaimana pendapat anda tentang artikel ini???

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2014. el-Haseem21 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger