Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon I
BAB I
Sebelum saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku berjudul “Syekh
Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian”, karya Dr Abdul Munir Mulkhan,
saya sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi pembahas buku tersebut.
Tentu saja saya mengucapkan terima kasih kepada panitia atas kepercayaan yang
diberikan kepada saya di dalam acara launching buku yang katanya sangat laris
ini.
Saya masuk
Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan Manajemen Hutan. Sebelum
lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan
Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun
1978, orientasi sistem pengelolaan hutan mengalami perubahan secara
fundamental.
Kehutanan
tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional,
melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen di
bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat mulai
jaman kuno dulu. Di situ saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan
antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah
sosiologi dan antropologi yang amat menarik.
Kehutanan di
Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan
pengembangan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy) yang sekarang
sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak
dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah
Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan Sunan
Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun
setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih
tersimpan rapi di Leiden, diberi nama “Het Book van Mbonang”, yang menjadi
sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi.
Buku serupa
tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak
dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi seandainya tidak ada “Het Book van
Mbonang”, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi
dengan data obyektif.
Kenyataan
sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu yang berkembang
lalu kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syekh Siti Jenar
yang hari ini akan kita bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan mistik dan
takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di
Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan.
Pembawa
risalah Islam, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lahir 9 abad sebelum
era Walisongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di Tho’if,
beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud.
Tidak
seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan Majapahit hanya melawan
tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bollpoint ke
pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan bollpoint tersebut segera berubah menjadi
keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta
kalahlah mereka.
Keris itu
kemudian diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh Kyai Langitan diberikan
kepada Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi
Sidang Istimewa MPR yang sekarang sedang digelar, dan ternyata tidak ampuh.
Kisah Sunan
Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid
dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari Gunung
Jabalkat.
Kisah Sunan
Ampel lebih hebat lagi; salah seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram
dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat..
Pembuat
ceritera ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk bulat sehingga permukaan
bumi ini melengkung. Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram
dari Surabaya.
Islam juga
mengajarkan bahwa Nabi lbrahim AS, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era
Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan penyembah berhala, sepanjang
hidupnya berdakwah untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di
Jawa sangat ketinggalan jaman dibanding dengan kisah yang dialami oleh
orang-orang yang menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka sangat
jauh.
Het Book van
Mbonang” yang telah melahirkan dua orang doktor dan belasan master bangsa
Belanda itu memberi petunjuk kepada saya, pentingnya menulis sejarah
berdasarkan fakta yang obyektif. “Het Book van Bonang” tidak menghasilkan kisah
Keris Kolomunyeng, kisah cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing,
dan sebagainya.
Itulah
ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di
Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang Syekh Siti Jenar dan
Walisongo.
Tulisan saya
belum selesai, tapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah
Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan.
Itulah
sebabnya saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku Syekh Siti Jenar
karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk
segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu.
Dunia mitos
tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi juga sudah ketinggalan
jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum dunia
mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal
abad ke-20.
Apakah kita
justru ingin kembali ke belakang?
Kalau kita
masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan
pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
0 komentar:
Kami Tunggu Respon Anda
Bagaimana pendapat anda tentang artikel ini???