Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon II
BAB II
Siapa Syekh
Siti Jenar ?
Kalau
seseorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri
penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat
dijadikan tolok ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau
ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit
sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang bersifat
relijius karena dua hal itu sangat bertentangan.
Seorang
sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena antara
pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak mustahil kalau Isi
sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang
Berternak Kambing Ettawa menerangkan seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya,
jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa.
Judul buku
karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti
Jenar”.
Pembaca
tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu
ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis buku juga setia dengan
ketentuan seperti itu.Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai
dengan 6, Bab Satu tidak relevan..
Bab Satu
diberi judul: Melongok Jalan Sufi: Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis
ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi
apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu
banyak pernyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan
di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau
dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya; oleh karena
itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai
pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap,
watak dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap,
watak dan pendapatnya.
Pernyataan-pernyataan
di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya,
sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu
dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan musti disusun
menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat
ilmu.
Untuk
mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului
dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr
Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu, halaman 3-10). Di dalam paragraf
tersebut diterangkan asal-usul Syekh Siti Jenar tidak jelas.
Seperti
telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini
juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar
Shofiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti
Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bernama Resi Bungsu. Nama
asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau
seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian,
pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak
semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Di dalam uraian tentang
asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan
kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan- kejanggalan itu adalah:
1. Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang
raja pendeta benama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas.
Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas
sehingga meragukan.
2. Di halaman 62, dengan mengutip
sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah
seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas.
Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha.
Setelah
Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum
masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama.. Pada hal ajaran kedua
agama itu sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut
selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh
perseteruan akut tersebut.
Runtuhnya
Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu
kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang membuat
kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas
Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama
beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa
Eropa.
3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar
beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias
Abdul Jalil. Apalagi seorang “raja pendeta” yang hidup di era pergeseran
mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi.
4. Atas kesalahan yang dilakukan
anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke
sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai
tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang “raja
pendeta” menyihir anaknya menjadi cacing.
pendeta”
Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing?
Kalau
begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam mu apakah yang
dimiliki “raja yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya?
Cerita
seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang mungkin tidak
pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan
yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di
sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan
untuk menembel perahu Sunan Mbonang yang bocor.. Sunan Mbonang berada di atas
perahu sedang mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar biasa
kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban, sedang
cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di tempat lain
dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di perahu yang sedang
terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel perahu bocor dengan tanah? Kalau
toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk
tidak boleh katutan (membawa) cacing.
6. Masih di halaman 4 diterangkan,
suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada
para muridnya. Tidak pernah diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan
Sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu
merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah
Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan
perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali.
Untuk apa
Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah
dirinya menjadi seekor burung.
Al hasil,
seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang
lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu banyak
pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau
tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga
berkaitan dengan, di samping tempat lahirnya, di mana sebenarnya tempat tinggal
Syekh Siti Jenar.
Banyak
penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah: Sitibrit,
Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering dikaitkan dengan tempat
tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah Abang itu sampai sekarang tidak
pernah jelas; padahal tokoh terkenal yang hidup pada jaman itu semuanya
diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun
petilasan.
Karena
keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti
Jenar memang tidak pernah ada. Lalu apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu? Sekali
lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar
tidak pernah ada, mengapa kita ber-tele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa
kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu
dalam rangka memperbandingkan dengan Al Qur’an dan Hadits yang amat jelas
asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi muatan
ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia.
Sebaliknya,
Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang
Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah
kaffah bertauhid, maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus
melayaninya.
Oleh karena itu sebagai orang Islam yang tidak lagi
ragu terhadap kebenaran Al Qur’an dan kerosulan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk
berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera
fiktif yang berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.
0 komentar:
Kami Tunggu Respon Anda
Bagaimana pendapat anda tentang artikel ini???