Sejarah Walisongo Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon III
BAB III
Sunan
Kalijogo
Semua orang
di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang
kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban
Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam.
Silsilah
Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II,
putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario
Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo.
Itulah asal
usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya
merupakan versi Jawa.
Dua versi
lainnya tidak pernah ditulis atau tidak dijumpai dalam media cetak sehingga
tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan
telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan
cerita mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah tersebut tidak tersedia.
Ricklefs,
sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum
ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya
tentang sejarah Jawa.
Sejarah Jawa
banyak bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali.. Mungkin
cerita rakyat itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah
menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi
setelah melewati para pengagum atau penentangnya.
Namun
demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu
sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo
Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung.
Serat Dewo
Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat
wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di
desa kelahiran ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang
Marijan.
Sunan
Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah
hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan
Mbonang atas pertanyaan yang diajukan.
Sampai
sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen, yang
sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat
Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat
Dewo Ruci akan kecelek.
Mengapa
demikian?
Isi Suluk
Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan
sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah
menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu
tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci.
Kalau Serat
Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini
saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan
Kalijogo..
Seorang
pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku
tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo
ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo
sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saat ini
saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira
karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo menjadi
kaffah mengimani Islam.
Sebelumnya
Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya
meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu
melain sholat da’im.
Menurut
Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo
tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa illaha
ilalloh kapan saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud.
Atas dasar
itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenarnya adalah
Sunan Kalijogo.
Hipotesis
inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum
muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh
Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan
buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku
tersebut tidak dapat berjalan lancar.
Atas dasar
itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang
dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan
yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai
tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti tertulis di dalam
Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham manunggaling kawulo Gusti
(seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya),
sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu Joko Katong yang
ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo.
Joko Katong
sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas
sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito) , Kyai
Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun
Habibie.
0 komentar:
Kami Tunggu Respon Anda
Bagaimana pendapat anda tentang artikel ini???